JellyPages.com

Sabtu, 04 Mei 2013

Ketika Mencintai Tak Harus Memiliki

Lama banget rasanya gak pernah nulis-nulis lagi dalam blog ini :p
Karena udah selesai UN aku mau lanjut ngisi blog yang uda hampir sakaratul maut ini deh, hehehe..

Tema aku kali ini sebenarnya uda pernah aku bahas dan aku ceritakan dalam tulisan aku di dalam isi blog ini sebelumnya, yaitu "Cinta Karena Allah". Tapi rasanya kurang lengkap kayanya kalo aku belum menambahkan suatu kisah yang amat sangat bagus untuk kita jadikan pedoman dan panutan ketika kita sedang mencari cinta sejati dan ingin meminang seseorang untuk dijadikan cinta sejati..

Kisah ini adalah suatu kisah yang di alami oleh salah satu sahabat Rasulullah SAW, yaitu Salman Al-Farisi dengan sahabatnya Abu Darda'

 ...

"Tiap helai daun yang jatuh telah tercatat sebagai takdirNya, dan itu adalah kuasaNya. Yakinlah bahwa semua yang Allah berikan adalah yang terbaik. Meski yang terbaik tidak selalu yang terindah."

Salman Al-Farisi mempunyai niat untuk menikah. Apalagi Salman sudah mengenal seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah. Perempuan tersebut mempunyai tempat tersendiri didalam hati Salman.

Tetapi bagaimanapun juga, Salman merasa asing di sini. salman bukanlah pemuda yang dilahirkan di Madinah. salman tidah tumbuh besar di Madinah. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, jika dirinya ingin melamar seorang gadis pribumi tentu membutuhkan seseorang yang menjadi juru bicaranya. Harus ada seseorang yang akrab dengantradisi Madinah berbicara untuknya dalam melamar. Akhirnya Salman memilih Abu Darda'sebagai juru bicaranya. Abu Darda' adalah sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya

"Subahanallah.. wal Hamdulillah", girang Abu Darda' mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

"Saya adalah Abu Darda', dan ini adalah saudara saya Salman Al-Farisi, seorang dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memulikan Islam dengan amal dan jhadnya. Dia memiliki kedudukan yang yang utama di sisi Rasulullah SAW, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.", Sangat fasih sekali Abu Darda' berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

"Adalah kehormatan bagi kami." Ucap tuan rumah, "Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini brmantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak menjawab ini sepenuhnya saya serahkn pada putri kami,” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang putri menanti dengan segala debar hati.

“Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang berbicara mewakili putrinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika yang melamar putri kami adalah Abu Darda’, putri kami tidak menolaknya.”

Jelas sudah keterus-terangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang putri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

“Allahu Akbar!” seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”..


PERNAHKAH kamu merasakan, bahwa kamu mencintai seseorang, meski kamu tahu ia tak sendiri lagi, dan meski kamu tahu cintamu mungkin tak berbalas, tapi kamu tetap mencintainya.

Pernahkah kamu merasakan, bahwa kamu sanggup melakukan apa saja demi seseorang yang kamu cintai, meski kamu tahu ia takkan pernah peduli ataupun ia peduli dan mengerti, tapi ia tetap pergi.

Pernahkah kamu merasakan hebatnya cinta, tersenyum kala terluka, menangis kala bahagia, bersedih kala bersama, tertawa kala berpisah. Kita pernah tersenyum meski kita terluka, karena kita yakin Allah tak menjadikannya untuk nkita. Kita pernah menangis kala bahagia, karena kita takut kebahagiaan cinta ini akan sirna begitu saja, begitulah perasaan cinta.

Seperti itulah yang harus kita lakukan. Berani mencintai berarti berani menerima resiko untuk tidak dicintai. Cinta memang tak harus memiliki, karena memang cinta bukanlah segalanya.

Salman Al-Farisi melakukan hal itu karena Salman sadar bahwa sebagai seorang muslim, dia tidak pantas untuk menyesali cintanya yang tak terbalaskan. Sebagai seorang muslim, Salman juga tidak menaruh dengki kepada Abu Darda’. Bahkan dalam kasempatan lain ketika istri Abu Darda’ mengeluhkan kekurangan suaminya, Salman ikut memberikan solusi dan mendamaikan mereka. Salman tidak berusaha memanfaatkan peluang yang ada untuk mendapatkan kembaliu cintanya.

Begitulah seharusnya cinta. Itulah cinta sejati, cinta seorang pemberani dan cinta seorang yang berbudi.


Sebelum di tutup aku mau mengutip sebuah puisi yang indah banget. Judulnya “Carilah Cinta”, by. Raihan

Carilah cinta yang sejati
Yang ada hanyalah padanya
Carilah cinta yang haqiqi
Yang hanya padanya yang Esa

Carilah cinta yang abadi
Yang ada hanyalah padaNya
Carilah kasih yang kekal selamanya
Yang ada hanyalah pada Tuhanmu

Di dalam mencari cinta yang sejati
Banyaknya ranjau kan ditempuhi
Di dalam mendapat cinta yang haqiqi
Banyaknya onak yang di redahi

Yakinlah kepada Tuhan-Mu
Kerna Dialah cinta haqiqi
Kerna Dialah cinta haqiqi
Kerna Dialah cinta yang haqiqi