Lama banget rasanya gak pernah nulis-nulis lagi dalam
blog ini :p
Karena udah selesai UN aku mau lanjut ngisi blog yang
uda hampir sakaratul maut ini deh, hehehe..
Tema aku kali ini sebenarnya uda pernah aku bahas dan
aku ceritakan dalam tulisan aku di dalam isi blog ini sebelumnya, yaitu
"Cinta Karena Allah". Tapi rasanya kurang lengkap kayanya kalo aku
belum menambahkan suatu kisah yang amat sangat bagus untuk kita jadikan pedoman
dan panutan ketika kita sedang mencari cinta sejati dan ingin meminang
seseorang untuk dijadikan cinta sejati..
Kisah ini adalah suatu kisah yang di alami oleh salah
satu sahabat Rasulullah SAW, yaitu Salman Al-Farisi dengan sahabatnya Abu
Darda'
...
"Tiap helai daun yang jatuh telah tercatat sebagai takdirNya, dan itu adalah kuasaNya. Yakinlah bahwa semua yang Allah berikan adalah yang terbaik. Meski yang terbaik tidak selalu yang terindah."
Salman Al-Farisi mempunyai niat untuk menikah. Apalagi
Salman sudah mengenal seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita
mukminah lagi shalihah. Perempuan tersebut mempunyai tempat tersendiri didalam
hati Salman.
Tetapi bagaimanapun juga, Salman merasa asing di sini.
salman bukanlah pemuda yang dilahirkan di Madinah. salman tidah tumbuh besar di
Madinah. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu
dikenalnya. Ia berfikir, jika dirinya ingin melamar seorang gadis pribumi tentu
membutuhkan seseorang yang menjadi juru bicaranya. Harus ada seseorang yang
akrab dengantradisi Madinah berbicara untuknya dalam melamar. Akhirnya Salman
memilih Abu Darda'sebagai juru bicaranya. Abu Darda' adalah sahabat Anshar yang
dipersaudarakan dengannya
"Subahanallah.. wal Hamdulillah",
girang Abu Darda' mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka
setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah
rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah seorang wanita yang shalihah lagi
bertaqwa.
"Saya adalah Abu Darda', dan ini adalah saudara
saya Salman Al-Farisi, seorang dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan
Islam dan dia juga telah memulikan Islam dengan amal dan jhadnya. Dia memiliki
kedudukan yang yang utama di sisi Rasulullah SAW, sampai-sampai beliau menyebutnya
sebagai ahli baitnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri
Anda untuk dipersuntingnya.", Sangat fasih sekali Abu Darda' berbicara
dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
"Adalah kehormatan bagi kami." Ucap tuan
rumah, "Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah
kehormatan bagi keluarga ini brmantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan
tetapi hak menjawab ini sepenuhnya saya serahkn pada putri kami,” Tuan rumah
memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang putri menanti dengan
segala debar hati.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara
lembut itu. Ternyata sang ibu yang berbicara mewakili putrinya. “Tetapi karena
Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa
putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika yang melamar putri kami adalah
Abu Darda’, putri kami tidak menolaknya.”
Jelas sudah keterus-terangan yang mengejutkan, ironis,
sekaligus indah. Sang putri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya!
Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan;
reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan
bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah
dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun
atas orang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
“Allahu Akbar!” seru Salman, “Semua mahar dan nafkah
yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi
saksi pernikahan kalian!”..
…
PERNAHKAH kamu merasakan, bahwa kamu mencintai
seseorang, meski kamu tahu ia tak sendiri lagi, dan meski kamu tahu cintamu
mungkin tak berbalas, tapi kamu tetap mencintainya.
Pernahkah kamu merasakan, bahwa kamu sanggup melakukan
apa saja demi seseorang yang kamu cintai, meski kamu tahu ia takkan pernah
peduli ataupun ia peduli dan mengerti, tapi ia tetap pergi.
Pernahkah kamu merasakan hebatnya cinta, tersenyum kala
terluka, menangis kala bahagia, bersedih kala bersama, tertawa kala berpisah. Kita
pernah tersenyum meski kita terluka, karena kita yakin Allah tak menjadikannya
untuk nkita. Kita pernah menangis kala bahagia, karena kita takut kebahagiaan
cinta ini akan sirna begitu saja, begitulah perasaan cinta.
Seperti itulah yang harus kita lakukan. Berani mencintai
berarti berani menerima resiko untuk tidak dicintai. Cinta memang tak harus
memiliki, karena memang cinta bukanlah segalanya.
Salman Al-Farisi melakukan hal itu karena Salman sadar
bahwa sebagai seorang muslim, dia tidak pantas untuk menyesali cintanya yang
tak terbalaskan. Sebagai seorang muslim, Salman juga tidak menaruh dengki
kepada Abu Darda’. Bahkan dalam kasempatan lain ketika istri Abu Darda’
mengeluhkan kekurangan suaminya, Salman ikut memberikan solusi dan mendamaikan
mereka. Salman tidak berusaha memanfaatkan peluang yang ada untuk mendapatkan
kembaliu cintanya.
Begitulah seharusnya cinta. Itulah cinta sejati, cinta
seorang pemberani dan cinta seorang yang berbudi.
…
Sebelum di tutup aku mau mengutip sebuah puisi yang
indah banget. Judulnya “Carilah Cinta”, by. Raihan
Carilah cinta
yang sejati
Yang ada hanyalah
padanya
Carilah cinta
yang haqiqi
Yang hanya
padanya yang Esa
Carilah cinta
yang abadi
Yang ada hanyalah
padaNya
Carilah kasih
yang kekal selamanya
Yang ada hanyalah
pada Tuhanmu
Di dalam mencari
cinta yang sejati
Banyaknya ranjau
kan ditempuhi
Di dalam mendapat
cinta yang haqiqi
Banyaknya onak
yang di redahi
Yakinlah kepada
Tuhan-Mu
Kerna Dialah
cinta haqiqi
Kerna Dialah
cinta haqiqi
Kerna Dialah
cinta yang haqiqi